Kepailitan yang melibatkan apartemen dan pengembang properti dapat memberikan dampak signifikan terhadap para konsumen. Ketika pengembang dinyatakan pailit, proyek pembangunan sering kali terhenti, menyebabkan pembeli properti—seperti pemilik apartemen—dirugikan. Mereka tidak hanya kehilangan unit yang telah dibayar tetapi juga menghadapi kesulitan untuk mendapatkan kembali uang mereka. Hal ini terjadi karena konsumen umumnya bukanlah kreditur preferen, sehingga dana mereka baru bisa dikembalikan setelah pihak lain, seperti bank atau kreditur dengan hak jaminan, telah dipenuhi.
Kasus pailit sering kali digunakan oleh beberapa oknum untuk kepentingan pribadi, yang mengakibatkan pengembang tidak melanjutkan proyeknya dan meninggalkan kewajiban kepada konsumen. Dalam kondisi ini, kurator yang ditunjuk untuk mengelola proses kepailitan mendapatkan komisi di awal, sementara konsumen harus menunggu giliran untuk memperoleh hak mereka. Hal ini menimbulkan urgensi untuk merevisi peraturan mengenai kepailitan agar lebih melindungi konsumen, khususnya melalui penempatan mereka sebagai kreditur yang lebih diutamakan.
Di sisi lain, kepailitan properti juga berdampak sistematis pada industri terkait, seperti perusahaan bahan bangunan dan tenaga kerja yang terlibat dalam proyek tersebut. Ketika pengembang gagal menyelesaikan proyek, tidak hanya konsumen yang kehilangan investasi mereka, tetapi juga banyak pekerja dan industri pendukung yang bergantung pada keberlanjutan proyek tersebut mengalami kerugian finansial. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang lebih kuat dan revisi peraturan seperti UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dianggap perlu untuk memastikan keseimbangan hak antara pengembang, konsumen, dan pihak terkait lainnya.
Sumber: