Program 3 Juta Rumah adalah program pembangunan hunian layak yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto, dan diinisiasi serta dijalankan oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) di bawah Menteri Maruarar Sirait, dengan tujuan mengatasi kekurangan rumah (backlog) dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Tujuan dan sasaran program ini
- Penyediaan Hunian yang Layak – Memberikan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat miskin ekstrem, miskin, serta kelas menengah bawah.
- Mengurangi Backlog Perumahan – Mengatasi kebutuhan rumah yang masih tinggi di Indonesia.
- Mendorong Pertumbuhan Ekonomi – Menggerakkan sektor konstruksi, bahan bangunan, tenaga kerja, dan investasi swasta.
- Pemerataan Ekonomi – Memperkecil jarak kesejahteraan antara masyarakat di perkotaan, perdesaan, dan pesisir.
Strategi pelaksanaannya mencakup perbaikan 2 juta rumah tidak layak huni di desa, pembangunan 1 juta rumah baru di perkotaan melalui kemitraan strategis dengan swasta, dan penataan kawasan pesisir serta membangun hunian adaptif bencana. Melalui program ini, pemerintah ingin mengendalikan harga tanah dan tata ruang. Caranya dengan mengarahkan subsidi untuk menormalisasi harga tanah serta menata zonasi dan posisi rumah agar tidak makin menjauh dari pusat kegiatan ekonomi.
Bentuk Program
- Pembangunan Rumah Baru = Baik subsidi maupun non-subsidi.
- Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) = Berupa perbaikan rumah tidak layak huni (bedah rumah).
- Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) = Subsidi bunga kredit rumah untuk MBR.
- Penyediaan Rusun (Rumah Susun) = Untuk mahasiswa, pekerja dan masyarakat perkotaan.
Tantangan dalam Implementasinya
- Anggaran yang tidak mencukupi = Satuan Tugas Presiden memaparkan bahwa anggaran negara yang diperlukan untuk merealisasikan program ini mencapai Rp 53,6 triliun. Namun, hingga kini, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) hanya diberi anggaran sebesar Rp 5,27 triliun. Bahkan, jumlah anggaran ini hanya berlaku untuk tahun 2025, belum untuk tahun 2026, 2027, dan seterusnya yang sudah pasti memerlukan biaya lebih besar untuk pembangunan.
- Lahan kosong yang sulit dicari = Jumlah tanah atau lahan kosong untuk membangun hunian semakin sedikit dikarenakan penguasaan tanah yang terlalu terpusat oleh segelintir orang. Hal ini mengakibatkan ongkos tanah yang semakin meninggi untuk program 3 Juta Rumah. Padahal, seharusnya pembangunan rumah dibuat seterjangkau mungkin untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
- Birokrasi yang rumit = Dalam lingkup pemerintahan, masalah perumahan dikelola oleh enam kementerian atau lembaga. Hal ini menyebabkan lambatnya proses administrasi dan koordinasi antar pihak terkait pengelolaan sektor perumahan. Jika birokrasi tidak kunjung disederhanakan, maka program 3 Juta Rumah akan sulit untuk dijalankan.
- Transparansi pembagian rumah = Terakhir, distribusi tiga juta rumah yang telah dibangun perlu diawasi agar sampai ke sasaran yang tepat, yakni masyarakat berpenghasilan rendah. Jika tidak dibarengi dengan pengawasan ketat, program ini berpotensi disalahgunakan sehingga menyasar ke oknum-oknum di luar target sasaran. Apabila ini terjadi, maka program tidak dapat dikatakan berhasil karena kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah akan hunian belum terpenuhi.
Upaya Mitigasi
Sebelum pelaksanaan program, perlu dilakukan survei mendalam untuk mendeteksi konsentrasi kebutuhan rumah di tiap daerah. Selanjutnya, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan APBN sebagai sumber dana, tetapi harus menggandeng pengusaha-pengusaha swasta dan bekerja sama dengan berbagai institusi pendukung. Setelah itu, organisasi terstruktur khusus perlu dibangun untuk mengawasi jalannya program ini. Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) mengusulkan dibentuknya Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) untuk melakukan pengawasan. Dengan ini, masalah seperti pembiayaan, pengerjaan, dan distribusi ke sasaran dapat teratasi.
Kesimpulan
Program 3 Juta Rumah bertujuan mengurangi backlog perumahan, menyediakan hunian layak bagi MBR, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Program ini mencakup pembangunan rumah baru, perbaikan rumah tidak layak huni, rusun, dan subsidi pembiayaan. Namun, keterbatasan anggaran, lahan, birokrasi rumit, serta risiko salah sasaran menjadi tantangan besar. Keberhasilan program sangat bergantung pada kolaborasi pemerintah, swasta, dan pengawasan ketat agar tepat sasaran.